Dalam postingan ini saya akan membahas Budaya Populer menurut Raymond Williams dan juga sedikit mengenai Budaya Massa.
Raymond Williams memberikan empat makna untuk Budaya Populer yakni:
(1) banyak disukai orang; (2) jenis kerja rendahan; (3) karya yang dilakukan
untuk menyenangkan orang lain; (4)
budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri.
Budaya Populer merupakan satu set
artefak yang mudah didapatkan, seperti film, rekaman, pakaian, program TV, mode
transportasi, dan lain sebagainya.
Kebudayaan pop dapat ditemukan di masyarakat-masyarakat yang berbeda
dalam satu kelompok masyarakat, dan di antara masyarakat dan kelompok pada
periode sejarah yang berbeda.
Beberapa orang berpendapat bahwa produk-produk budaya populer Jepang “tidak
bermuka” (faceless). Ini karena daya tarik budaya populer Jepang yang
bersifat tidak nasional dan karenanya sangat mudah untuk ditransfer keluar
Jepang, sehingga budaya tersebut tidak bisa dikenali lagi sebagai budaya orang
Jepang. Memang sangatlah sulit untuk melihat ciri khas Jepang pada
karakter-karakter animasi yang mendunia seperti Hello Kitty, Doraemon,
Pokemon ataupun bagaimana melihat sebuah pesan budaya yang mungkin terbawa
oleh produk-produk tersebut yang diterima oleh para konsumen. (http://kyotoreview.org/issue-8-9/budaya-populer-jepang-di-asia-timur-and-tenggara-saatnya-untuk-sebuah-paradigma-regional/)
Selanjutnya, akan dibahas mengenai budaya massa. Secara sederhana budaya
massa (mass culture) serupa dengan budaya popular dalam basis
penggunaannya. Namun, berbeda dengan budaya popular yang tumbuh dari masyarakat
sendiri dan digunakan tanpa niatan profit, budaya massa diproduksi lewat
teknik-teknik produksi massal industri. Budaya tersebut dipasarkan kepada massa
(konsumen) secara komersial.
Budaya massa kemudian dikenal pula sebagai budaya komersial yang
menyingkirkan budaya-budaya lain yang tidak mampu mencetak uang seperti budaya
elit (high culture), budaya rakyat (folk culture), dan budaya
popular (popular culture) yang dianggap ketinggalan zaman. Jika budaya
elit, budaya rakyat, dan budaya popular tidak mampu mencetak uang, untuk apa ia
dikembangkan dan dipelihara? Demikian retorika kasar para produsen mass
culture.
Teori kebudayaan massa merujuk pada
kebudayaan pop yang diproduksi oleh teknik industry dan produksi massal, yang
dijual demi keuntungan (laba) pada konsumen umum. Hal ini merupakan kebudayaan
komersial yang diproduksi massal untuk pasar yang besar.
Produsen budaya massa melihat para penerima budaya sebagai pasif, lembek,
mudah dimanipulasi, mudah dieksploitasi, dan sentimentil. Bertindak selaku agen
dari budaya
massa ini media massa. Televisi, radio, majalah, surat kabar, dan
internet menempati posisi
penting selaku agen budaya. Sementara produsen dari budaya massa adalah
para pemilik pabrik barang (pakaian, kosmetika, kendaraan) dan jasa (konsultan
marketing, event organizer, manajer artis).
Partner utama mass culture adalah mass media. Kemampuan mass media
menjangkau khalayak (audiens potensial) secara luas, membuat mass culture
sangat mudah dipasarkan. Mass media di masa kini enggan menayangkan high
culture, folk culture atau popular culture karena dianggap sudah
kurang diminati dan memiliki daya jual yang rendah.
Dalam masyarakat massa, individu
semakin lama makin sendiri, makin sedikit memiliki komunitas atau institusi
tempat mereka mengidentifikasikan diri atau mendapat nilai-nilai kehidupan.
Dan, mereka makin lama makin sedikit memiliki cara hidup yang tepat secara
moral. Peran budaya
massa terlihat sebagai sumber utama moralitas pengganti yang tidak efektif. Tanpa
organisasi penengah yang tepat, individu mudah dimanipulasi maupun
dieksploitasi oleh institusi seperti media massa dan kebudayaan popular.
Penikmat kebudayaan massa, yakni orang-orang yang mengkonsumsi
hasil kebudayaan yang diproduksi massal. Mereka dianggap sebagai sekelompok
besar konsumen pasif, yang mudah dibujuk atau dimanipulasi oleh media massa,
yang dengan mudah menerima dorongan untuk membeli komoditas yang diproduksi
massal seperti kebudayaan massa.
Akhir kata, kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan-penjelasan di
atas, yang merupakan contoh dari kebudayaan massa di Jepang di antaranya adalah
Karaoke, industri manga, dan love industry. Kata kunci dari
budaya massa adalah ‘setiap hari’ dan ‘konsumsi’. Oleh karena itu kita juga
dapat mengambil kesimpulan bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat yang
bersifat keduniaan karena memiliki banyak budaya massa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar