MENYELAMI DAMPAK
SISTEM PENDIDIKAN
DALAM NOVEL
TOTTO-CHAN : GADIS CILIK
DI JENDELA
Nurul Fatima
ABSTRAK
Tulisan ini merupakan hasil penelitian terhadap novel “Madogiwa
No Tottochan”, karya Tetsuko Kuroyanagi. Dalam penelitian ini, masalah yang
diangkat adalah masalah sistem pendidikan yang didapatkan tokoh Totto-chan, dan
dampak sistem pendidikan tersebut bagi sikap perilaku Totto-chan.
Pada
penelitian ini, ditemukan bahwa sikap tokoh Totto-chan sebelum memasuki Tomoe Gakuen adalah
hiperaktif dan imajinatif. Namun,
setelah
memasuki Tomoe Gakuen tokoh Totto-chan memiliki sikap keingintahuan yang tinggi, cerdas, semangat yang
tinggi dan pantang menyerah. Dampak dari
sikap
tersebut ia dapatkan karena sistem pendidikan di Tomoe Gakuen.
Pembaca
akan diajak untuk menyelami dan menemukan hal-hal yang unik dan menarik
mengenai pendidikan yang didapatkan oleh Totto-chan. Cerita dalam novel
ini berlatar waktu pada masa sebelum Perang Dunia II pecah di negara Jepang
sampai dengan terjadinya pemboman dua kota besar di Jepang yakni Hiroshima dan
Nagasaki. Tomoe Gakuen adalah nama sekolah dasar tempat dimana Totto-chan
bersekolah. Tomoe Gakuen didirikan pada tahun 1937 dan sangat disayangkan habis
terbakar pada tahun 1945 karena mendapat serangan udara dari pasukan sekutu.
Namun, meskipun usia sekolah tersebut sangat singkat, semua orang akan
mengetahui bagaimana hebat dan menariknya sistem pendidikan dan metode-metode
pengajaran di sekolah tersebut berkat karya sastra novel ini.
Keyword:
sistem pendidikan, tokoh Totto-chan, Tomoe Gakuen, dampak sistem
pendidikan
I.
PENDAHULUAN
Karya sastra adalah komunikasi seni yang hidup di masyarakat dan bermediumkan bahasa.
Tanpa bahasa, sastra tidak dapat berkembang secara maksimal. Bahasa dalam karya sastra harus mampu menyentuh nuansa- nuansa makna dan mempunyai daya imajinatif. Pengarang dengan daya kreasi dan imajinasinya berusaha menyampaikan masalah-masalah kehidupan manusia yang ada di alam sekitarnya. Melalui ketajaman perasaanya pengarang mengungkapkan nilai-nilai yang terdapat di balik peristiwa untuk dituangkan ke dalam karya sastra. Selain itu, pengarang melalui karya-karyanya selalu mengajak pembaca tidak hanya menangkap yang tersurat, tetapi juga segala sesuatu yang tersirat dalam karya sastra.
Karya sastra banyak menampilkan problem-problem kehidupan manusia yang ditulis melalui cara pandang pengarang terhadap masalah yang akan diangkatnya dalam bentuk cerita fiksi. Orang dapat mengamati tingkah laku tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra dengan memanfaatkan pertolongan pengetahuan psikologi. Sastra dan psikologi adalah dua ilmu yang saling berkaitan. Membicarakan hubungan keduanya sangat menarik. Masing-masing dari dua disiplin ilmu tersebut saling berinteraksi. Wellek dan Warren ( 1962: 81 ) membedakan analisis psikologis menjadi dua macam yaitu studi psikologi yang semata-mata berkaitan dengan pengarang. Sedangkan studi yang kedua berhubungan dengan inspirasi, ilham, dan kekuatan-kekuatan supranatural lainnya. Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang kedua, yaitu pembicaraan dalam kaitannya dengan unsure kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung didalam karya sastra. Pada umumnya aspek- aspek kemanusiaan yang merupakan objek utama didalam psikologi sastra, sebab semata-mata dalam diri manusia itulah, sebagai tokoh-tokoh , aspek kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan.
Sebagai
bangsa literal dengan minat baca
yang tinggi dan memiliki ciri ‘kehausan
yang tidak pernah puas akan pengetahuan’,
wajar jika bangsa Jepang menjadi maju
dalam bidang pendidikan. Salah satu
contoh penerapan pendidikan di
Jepang adalah sistem pendidikan di
Tomoe Gakuen dalam “窓ぎわのトットちゃん(Madogiwa no
Totto-chan)”. Novel yang dalam
bahasa Indonesia diterjemahkan dengan
judul “Totto-chan : Gadis Kecil di Jendela” ini merupakan autobiografi yang ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi.
Novel Madogiwa No Totto-chan adalah novel yang menceritakan
tentang seorang gadis cilik yang biasa dipanggil dengan panggilan sayang
"Totto-chan" oleh orang sekitarnya. Ia adalah seorang gadis
cilik yang mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi dibandingkan dengan murid
lainnya. Tingginya rasa keingintahuan Totto-chan tersebut membuat guru
di sekolahnya menganggapnya nakal. Oleh karena kelakuannya yang setiap hari
sangat aneh dan membingungkan para guru, ia dikeluarkan dari sekolah lamanya.
Akhirnya, Totto-chan dimasukkan oleh Mamanya ke sekolah
Tomoe Gakuen. Sekolah dengan arsitektur yang berbeda dibandingkan dengan
sekolah pada umumnya. Tempat belajarnya berupa gerbong kereta api yang ada di
taman. Gadis itu pun sangat menikmati sekolah gerbong itu. Di sekolahnya yang
baru inilah, dia mendapatkan sesuatu hal yang sangat berarti bagi pengembangan
potensi dirinya.
Sistem pengajaran Tomoe sangat berbeda dari sekolah lainnya yaitu sistem
belajar kelompok dan jadwal pelajaran yang sesuka hati murid. Selanjutnya, ada
pelajaran tes keberanian di malam hari, berkemah di sekolah, liburan bersama ke
pemandian air panas, berenang telanjang bulat, pertandingan olahraga dan masih
banyak pelajaran lainnya yang bisa mengembangkan potensi mereka.
Totto-chan selalu merasa ingin tahu terhadap segala hal yang
dia temui. Di Tomoe Gakuen, Totto-chan hanya menempuh pendidikan sekolah
dasarnya hingga kelas empat. Sekolah itu terpaksa harus dihentikan karena
sedang terjadi perang dunia kedua dimana beberapa kota di Jepang di bom oleh
sekutu seperti Hiroshima dan Nagasaki. Banyak bom yang dijatuhkan oleh pesawat
pembom B29, dan diantaranya menimpa gerbong-gerbong kereta api yang selama ini
menjadi ruang kelas Tomoe Gakuen, menyebabkan sekolah tersebut terbakar habis.
Perang dunia kedua telah banyak mengubah Jepang, terutama dalam hal
pemikiran. Jepang mengadakan pergerakan baru sehingga mereka dapat bangkit kembali
dari kehancuran mereka, sistem belajar dan pengajaran di sekolah gerbong
tersebut banyak menjadi panutan bagi sekolah-sekolah di Jepang.
Pengarang novel ini adalah Tetsuko Kuroyanangi. Dia lahir di Tokyo tanggal
9 Agustus 1933. Ia dikenal sebagai seorang aktris, penulis buku anak-anak yang
aktif dengan aksi kemanusiaannya. Ia juga terkenal sebagai presenter di sebuah Talk
Show fenomenal di Jepang bertajuk Tetsuko 's Room yang membuatnya
menerima penghargaan dari Donal Richie. Pada tahun 1981, beliau
menerbitkan buku anak-anak pertama dan satu-satunya, Madogiwa No Totto-chan.
Buku tersebut langsung menjadi fenomenal dan bestseller yang dipublikasikan
di lebih dari 30 negara.
Novel Madogiwa No Totto-chan pantas diteliti, karena
memuat persoalan perubahan sikap tokoh Totto-chan sebagai dampak dari
pendidikan yang ia dapatkan. Berbagai pengalaman yang dia alami mengajarkannya
untuk berubah menjadi anak dengan sikap yang lebih baik. Oleh karena itulah
peneliti mengambil judul “Menyelami Dampak Sistem Pendidikan dalam Novel
Totto-chan : Gadis Cilik di Jendela.”
II.
Metode
Penelitian
Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif dengan menggunakan teknik
close reading, di mana pembacaan
terhadap karya sastra dilakukan secara detil, dan menyeluruh sehingga dari
hasil pembacaan tersebut dapat menghasilkan sebuah penelitian.
III.
PEMBAHASAN
3.1 Sekolah Tomoe Gakuen
Tomoe
Gakuen (1937-1945) adalah sebuah sekolah dasar yang dibangun oleh Sosaku
Kobayashi, sang Kepala Sekolah. Kobayashi-san sering melakukan
perjalanan ke Eropa, lalu ilmu yang ia dapatkan dari perjalanan tersebut ia
terapkan di Tomoe Gakuen. Nama Tomoe Gakuen diambil dari nama anak sulung
Kobayashi-san. Tidak seperti sekolah biasa, ruangan
kelas di Tomoe Gakuen terdiri dari gerbong-gerbong kereta yang sudah
tidak tepakai dan dikelilingi lingkungan alam yang masih asri sehingga para murid tidak merasa sedang bersekolah tetapi seperti
melakukan perjalanan rekreasi.
3.2 Metode-metode pengajaran yang terlihat dalam novel
Dalam penelitian ini penulis mengklasifikasi metode pengajaran ke
dalam empat kategori:
1. Individual Learning (Pembelajaran Individu)
“Di
awal jam pelajaran pertama, Guru membuat daftar semua soal dan pertanyaan
mengenai hal-hal yang akan diajarkan hari ini. Kemudian Guru berkata, “Sekarang
mulailah dengan salah satu dari ini, pilih yang kalian suka!”—hal. 37
2. Meaningful Learning (Pembelajaran Berarti)
“Dalam
pelajaran musik di Aula, setiap anak diberi sebatang kapur tulis oleh Kepala
Sekolah. Mereka boleh berbaring atau duduk dimana saja di lantaidan menunggu
dengan kapur tulis di tangan. Ketika mereka semua sudah siap, Kepala Sekolah
mulai memainkan pian. Sambil mendengarkan permainannya, anak-anak menuliskan
irama lagu itu dalam notasi musik di lantai. Sungguh menyenangkan menulis
dengan kapur tulis di lantai kayu yang berwarna cokelat muda mengkilat.” –hal. 215
3.
Indirectly
Learning (Pembelajaran Secara Tidak Langsung)
“Kepala
Sekolah datang lagi. “Kau sudah menemukan dompetmu?”tanyanya. “Belum”jawab
Totto-chan dari tengah-tengah gundukan. Keringatnya berleleran dan pipinya
memerah. Kepala Sekolah mendekat dan berkata ramah, “Kau akan mengembalikan
semuanya kalau sudah selesai, kan?” kemudian pria itu pergi lagi seperti
sebelumnya.”—hal. 62
4.
Learning
Anywhere (Pembelajaran Dimana Saja)
“Setelah
kira-kira berjalan sepuluh menit, Guru berhenti. Dia menunjuk beberapa kuntum
bunga berwarna kuning dan berkata, “Lihat bunga sesawi itu. Kalian tahu mengapa
bunga-bunga mekar?”—hal. 50
3.3 Dampak sistem pendidikan Tomoe gakuen bagi Totto-chan
Pengaruh
sistem pendidikan dengan
pendekatan psikologi yang diterapkan oleh
Sosaku Kobayashi di Tomoe Gakuen pada
anak didiknya dan masing-masing
kepribadian anak didiknya
terutama pada kepribadian Totto-chan bisa
dilihat dari kutipan berikut :
a.
Bebas Berekspresi
Hal
ini ditampilkan pada halaman 215, 111 dan 100.
Murid-murid
Tomoe tidak pernah mencoret-coret
jalanan atau dinding rumah
orang, karena mereka punya banyak kesempatan untuk melakukannya di sekolah.
(Hal. 215)
Berkat
Kepala Sekolah yang memberi kebebasan bagi murid-murid di Tomoe Gakuen untuk
mencoret-coret lantai sekolah saat jam pelajaran musik, murid-murid tidak
pernah mencoret-coret di tempat umum seperti murid sekolah lain. Kobayashi-san
mengajarkan kebebasan yang bertanggung jawab pada anak muridnya.
Kepala
Sekolah selalu meminta para orangtua agar menyuruh anak-anak mereka
mengenakan pakaian paling usang untuk bersekolah di Tomoe. (hal. 111)
Totto-chan
adalah anak hiperaktif yang suka mencari tahu hal baru di sekelilingnya,
seperti menyusup ke bawah semak-semak, melompati pagar, dan melompat ke dalam
lubang galian. Orang tua pasti akan memarahi anaknya bila anaknya pulang dalam
keadaan baju yang kotor dan robek. Karena itu Kepala Sekolah menyuruh anak-anak
untuk memakai pakaian mereka yang paling usang agar orang tua pun tidak merasa
berat bila anak-anaknya pulang dalam keadaan baju kotor atau robek. Mama Totto-chan
juga sangat menyetujui peraturan sekolah ini karena Totto-chan selalu
pulang ke rumah dengan baju yang kotor dan robek.
Selain
cara pengajaran yang berbeda dengan sekolah-sekolah biasa, sebagian besar jam
pelajaran di Tomoe diisi dengan
pelajaran musik. (hal. 100)
Anak-anak
usia Sekolah Dasar berbeda dengan anak-anak tingkat sekolah yang lebih tinggi. Mereka
cepat jenuh dan tidak suka belajar denga gaya yang monoton. Karena itulah
Kobayashi-san menyeimbangkan jam pelajaran di sekolah dengan pelajaran
musik agar para murid bebas berekspresi selama di sekolah.
Metode
diatas digunakan untuk membuat
anak-anak merasa senang serta metode
mengajar tersebut membuat
murid-murid merasa dihargai, dan
diberi kebebasan memilih sehingga keberanian mengambil keputusan akan berkembang. Begitu pula yang dirasakan pada Totto-chan.
b.
Memupuk Bibit Keberanian dalam
Mengambil Tindakan
Hal
ini ditampilkan pada halaman 121—122.
Pada
suatu siang hari Kepala Sekolah berkata, “Kurasa
kita semua harus belajar berbicara
lebih baik. Bagaimana menurut kalian?” (hal. 121-122)
“Kalian
tak perlu merasa harus jadi pembicara yang baik,” katanya. (hal. 122)
Pada
bab 30 dengan judul bab “Lalu... Uh...”, Kepala Sekolah meminta semua murid
Tomoe Gakuen untuk berpidato setiap selesai makan siang. Murid seperti Totto-chan
yang sangat suka bercerita tentu sangat menyukai kesempatan ini. Namun beberapa
murid yang tidak suka berbicara di depan umum merasa ini hal yang sulit untuk
dilakukan. Kepala Sekolah melakukan kegiatan ini bertujuan agar memupuk
keberanian para muridnya untuk tidak perlu takut saat berbicara di depan orang
banyak.
Dalam
hal ini kepala Sekolah berusaha menjaga
agar bibit-bibit keberanian mengambil
tindakan yang mulai tumbuh di
dalam jiwa muridnya tidak mati. Agar kelak saat umurnya bertambah, si anak akan memiliki kepercayaan terhadap kemampuan diri sendiri dalam menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya.
Sebuah tindakan yang dilandasi
empati luar biasa terhadap perkembangan
kepribadian seorang anak.
Selain
itu pada bab 46 dengan judul “Kau Benar-Benar Anak baik” (hal. 187) dikatakan
bahwa setiap kali Kepala sekolah bertemu dengan Totto-chan, ia akan
mengusap kepalanya dan berkata “Totto-chan, kau benar-benar anak baik. Kau
tahu itu kan?.” Tetsuko, sang pengarang, mengatakan hal tersebut sangat
tertanam di dalam dirinya. Kebanyakan orang akan mengatakan Totto-chan
adalah anak nakal bila sudah mendengar hal-hal yang telah ia lakukan selama di
sekolah. Namun Kepala Sekolah justru mengatakan ia adalah anak baik setiap
bertemu dengannya. Hal ini sangat penting agar seorang anak tidak merasa bahwa
ia memang anak yang buruk dan akan memotivasi dirinya untuk terus melakukan
kebaikan.
IV.
KESIMPULAN
Novel
“Totto-chan : Gadis Cilik di Jendela” ini merupakan autobiografi yang
ditulis oleh Tetsuko Kuroyanagi tentang
masa kecilnya saat bersekolah di Tomoe Gakuen. Selama masa sekolahnya yang
singkat disana, ia mendapatkan ilmu dan pengalaman yang berharga untuk
kehidupannya di masa depan. Metode pembelajaran yang terdapat di dalam novel
ini yaitu Individual Learning, Meaningful Learning, Indirectly Learning
dan Learning Anywhere. Berkat metode-metode yang diterapkan oleh Sosaku
Kobayashi, sang Kepala Sekolah, tak hanya Totto-chan, para pembaca novel
ini pun, khususnya dari kalangan dunia pendidikan, dapat menerapkan sistem
belajar yang sama. Sehingga, bisa mengubah sifat buruk seorang anak menjadi
lebih baik.
V.
DAFTAR
PUSTAKA
Kuroyanagi, Tetsuko. Totto-chan : Gadis Cilik di
Jendela. PT Gramedia Pustaka Utama (2007)
Kuroyanagi, Tetsuko. Totto-chan : The Little Girl at
The Window. Trans by Dorothy Britton (1993)
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Totto-Chan:_Gadis_Cilik_di_Jendela
https://oeniwahyuni.wordpress.com/2011/12/04/psikologi-sastra/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar