GAMBARI:
KESABARAN DAN KEBULATAN TEKAD MASYARAKAT JEPANG
Setelah restorasi Meiji pada 1868, Jepang dengan cepat memodernisasi dirinya, dan setelah Perang Dunia ke II, masyarakat Jepang membangun kembali negara mereka yang hancur menjadi negara yang berekonomi kuat. Bahkan saat ini, masyarakat Jepang dikenal rajin, terkadang sampai gila bekerja, karakterisasi ini diungkapkan dengan kata Gambari, bentuk kata kerja dari Gambaru.
Gambari menggambarkan komponen esensial dari masyarakat modern Jepang yang telah berlangsung sejak zaman dulu. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Jepang sangat sering menggunakan kata Gambari, dan penggunaan yang berlebihan ini seakan menjadi karakter masyarakat Jepang yang terkadang menimbulkan efek negatif. Dan lagi, konsep Gambari sekarang berubah dan kehilangan kekuatan nilai tradisionalnya, terutama penggunaannya di kalangan muda. Bab ini akan meneliti cara berpikir masyarakat Jepang dan sifatnya secara nasional berdasarkan Gambari, alasan orang Jepang sangat rajin dan perubahan terbaru berkenaan dengan makna Gambari.
LATAR BELAKANG GAMBARI
Gambaru adalah kata yang sering diucapkan di Jepang, artinya berusaha sekeras mungkin dan bertahan. Contohnya, murid-murid Gambaru (belajar dengan tekun) dengan tujuan untuk lulus ujian masuk. Atlet-atlet juga Gambaru (berlatih dengan giat) untuk memenangkan pertandingan atau medali. Selanjutnya, karyawan perusahaan Gambaru (bekerja keras) untuk meningkatkan penjualan perusahaannya. Dan juga, ketika orang Jepang memutuskan untuk memulai sesuatu, mereka mempertahankan Gambaru di dalam pikiran mereka selama proyek tersebut. Ketika seorang gadis desa meninggalkan desanya untuk mencari pekerjaan di kota, ia akan berjanji pada teman, orangtua dan gurunya bahwa ia akan Gambaru, dengan maksud ia tidak akan mengecewakan mereka. Kata ini juga digunakan seorang teman sebagai ucapan, seringnya sebagai bentuk perintah yaitu Gambare atau Gambatte. Pada situasi ini artinya menjadi agak ambigu. Orang Jepang menggunakan ekspresi ini sekurang-kurangnya sekali dalam sehari dengan ucapan selamat tinggal dan juga menuliskannya pada akhir surat. Dengan pengunaan kata ini mereka saling membesarkan hati dengan maksud “Tolong pertahankan kerja kerasmu sampai keinginanmu tercapai”. Kata ini mengkonotasikan pencapaian tinggi, motivasi dan orientasi pada keharmonisan kelompok (Wagatsuma, 1983, hal. 5). Kata ini juga digunakan di kalangan anggota kelompok untuk membesarkan hati anggota lainnya saat melakukan kerjasama. Contohnya, saat di lapangan sekolah, bisa didengar anak-anak berteriak “Gambare” atau “Gambatte” untuk mendukung teman-temannya berlari saat lomba. Tahun 1998, tim sepakbola Jepang berpatisipasi dalam pertandingan piala dunia yang diadakan di Perancis, dan supporter Jepang menyorakkan slogan “Gambare, Nippon!”. Selama pertandingan, slogan ini digunakan di progam-progam TV dan iklan-iklan setiap harinya. Dan juga, beberapa tahun lalu, setelah gempa besar di Kobe, muncul slogan “Gambarou Kobe! (Gambarou adalah bentuk keinginan dari Gambaru) untuk mendukung warga kobe membangun kembali daerah dan membenahi kehidupan mereka. Kebanyakan orang Jepang menggunakan kata ini secara rutin dan hampir dapat selalu ditemukan di koran. Kata Gambari memiliki banyak bentuk tergantung dari situasinya, dan dapat digunakan dengan makna yang luas.
MAKNA DARI GAMBARI
Makna dari gambari telah berubah seiring perkembangan zaman. Dulu, bermakna untuk menuntut dan meminta dari seseorang. Berdasarkan Kamus Bahasa Jepang Sanshodo (Kenbou, 1989, hal. 218) definisi Gambaru (1) bekerja keras dan bersabar, (2) meminta sesuatu kepada seseorang, dan (3) menempati suatu tempat dan tidak pernah meninggalkannya. Akhir-akhir ini, definisi yang pertama dijadikan makna yang utama dari Gambaru. Meskipun makna asli dari Gambaru masih diperdebatkan, dua teori telah dihasilkan. Argumen pertama, kata Gambari berasal dari Gambaru, “Memaksa mata seseorang, membuka lebar mata seseorang, meneruskan sesuatu”; argumen lainnya Gambaru berasal dari ga-o-haru “Untuk menjadi keinginan seseorang”, sebuah kata yang memiliki konotasi negatif untuk menuntut seseorang melanggar keputusan dan norma kelompok (Wagatsuma, op. cit.). Bagaimanapun sejak 1930, Gambaru sudah menjadi ungkapan positif, biasa digunakan untuk mendesak antusiasme kerja keras dari seseorang, biasanya untuk kelompok.
Berdasarkan Amanuma (1987, pp. 51-53) tidak ada bahasa asing yang memiliki makna sepadan dengan Gambaru. Dengan kata lain, tidak ada kata yang dapat mengungkapkan makna Gambaru dengan tepat. Amanuma (ibid., p,51) diskusi lebih lanjut dengan subyek para pelajar, jurnalis dan murid lulusan luar negeri yang mengetahui bahasa dan budaya Jepang dengan baik, ada ungkapan-ungkapan bahasa ibu mereka yang mirip dengan Gambaru, seperti aushalten, beharren, dan beharrung dari Jerman, ties bon dari Perancis, aguante dari Spanyol, dan chaa you dari China. Orang Amerika bilang persist in atau persist on memiliki makna yang mirip dengan Gambaru, namun tidak menutup makna Gambaru secara seutuhnya dan tidak memiliki nuansa seperti Gambaru. Amanuma (ibid., pp. 49-50) bahkan kata dalam bahasa China dan Korea tidak memiliki kesetaraan dengan kata Gambaru, meskipun kata ini ditulis dengan karakter China yang dikenalkan ke Jepang melalui Korea. Keduanya memiliki karakter yang sama dengan Gambaru, namun tidak mengungkapkan nuansa yang sama. Gambaru menjelaskan keunikan Jepang dan mengungkapkan kualitas karakter orang Jepang.
CARA BERPIKIR YANG BERBEDA
Cara berpikir yang berbeda tentang pekerjaan yang berhubungan dengan konsep Gambaru dapat terlihat dalam dua peribahasa yang terkenal di Amerika dan Jepang. "Biksu yang tidak bekerja seharusnya tidak makan (Jepang), semua pekerjaan dan tidak bermain membuat Jack menjadi anak yang membosankan (Amerika)". Menurut Amanuma (Ibid., pp. 131-133), secara keseluruhan, mempunyai waktu luang, tidak melakukan apa-apa, atau tidak bekerja menciptakan perasaan tidak enak untuk orang Jepang. Mereka cenderung berpikir bahwa waktu luang adalah hal yang sia-sia, bahkan memalukan dan merasa tidak enak. Matsumoto (1994, p 142) juga mencatat di Jepang bekerja keras dan ketegangan saat serius dianggap baik: lalai tidak berusaha dengan keras, dan ideal adalah untuk membuat usaha yang serius, terlepas dari. Karena itu Jepang mencoba untuk Gambaru, dan dua contoh berikut menggambarkan karakteristik ini.
Lima hari sekolah dalam seminggu hanya terjadi dalam sebulan di Jepang sampai saat ini, ketika itu berubah menjadi 2x dalam sebulan, menempatkan guru dan orang tua dalam kebingungan karena mereka tidak tahu apa yang harus anak-anak lakukan pada tambahan libur ini, dan konferensi harus diadakan di seluruh Jepang untuk mengembangkan kegiatan yang berguna untuk anak-anak. Selain itu Tsuzino menambahkan, banyak pria Jepang tidak mengetahui apa yang harus dilakukan tidak mengetahui apa yang harus dilakukan dengan diri mereka sendiri setelah mereka pensiun karena tujuan mereka dalam hidup hanya untuk bekerja. Sebagai hasilnya, jumlah orang tua yang bunuh diri meningkat dan permasalahannya adalah saat ini sedang dipertimbangkan hari diet Nasional.
Dengan kata lain, Matsumoto (1994, p.147) berpendapat bahwa sangat penting untuk orang Amerika mempunyai waktu luang. Di Amerika, orang-orang mengganggap kemampuan lebih penting daripada usaha, dan orang-orang yang dapat bersantai dan bahkan membuat lelucon dalam situasi yang serius dianggap baik. Kebanyakan orang Amerika juga berharap untuk pensiun cepat (Tsuzino, 1993, p. 158), sehingga toko alat tulis menawarkan berbagai kartu yang berisi ungkapan-ungkapan seperti "selamat pensiun". Tidak hanya di Amerika, tapi juga di prancis, pensiun diterima dengan sangat baik. Francois Mitterand, mantan presiden dari Prancis, menurunkan usia pensiun dari enam puluh lima tahun menjadi enam puluh tahun , dan reformasi ini dianggap salah satu yang terpenting selama 10 tahun kekuatan politiknya. Matsuoka (1989, p. 135) menjelaskan sikap-sikap yang kontras sebagai berikut:
Ada beberapa ungakapan yang kadang digunakan di Amerika tapi jarang digunakan di Jepang seperti "take it easy". Orang Amerika mengatakan kepada orang-orang yang sibuk bekerja, "take it easy" dan "don't work too hard". Kontras, Jepang mengatakan "gambatte" (atau work hard) sebagai sebuah tanda dorongan. Orang Amerika, tentu saja juga berpikir bahwa perlu saja untuk menjadi rajin, tapi seperti pepatah mengatakan, "semua pekerjaan dan tidak bekerja membuat jack menjadi seorang anak yang membosankan", menyarankan bahwa bekerja terlalu keras tidak baik untukmu.
Bahkan di Korea, yang mempunyai kebudayaan hampir sama dengan Jepang, mempunyai ekspresi yang hampir sama dengan Amerika seperti "take it easy". Lee (1982, pp. 175-176) menjelaskan bahwa orang Korea kadang menggunakan ekspresi yang setara dengan "relax" atau "soften your body", untuk seseorang yang memulai project baru, hampir tidak pernah mengatakan "gambarre" atau "work hard". Potensi kekuatan mereka (ibid.); sebagai kontras, orang-orang Jepang cenderung untuk menunjukan kemampuan mereka melalui ketegangan dan usaha keras.
PENYEBAB LEBIH DALAM GAMBARI
Tiga alasan yang dapat menjadi gambaran asal mula dari semangat gambari :
Panen, kondisi geografis yang ada di Jepang, dan kesempatan yang sama untuk meningkatkan kelas sosial seseorang. Menurut Amanuma (1987, p. 140), pertumbuhan padi meninggalkan jejak pada karakter orang Jepang. Itu selalu menjadi hal yang lebih tradisional dan intensif dari pertanian di Jepang, sejak diperkenalkan dari China pada periode zaman Jomon. Gaya pertanian ini biasanya membutuhkan waktu kerja intensive terutama pada musim tertentu, khususnya selama menanam padi dan waktu panen. Dengan demikian, kebiasan pertanian kuno seperti bekerja dengan jangka pendek dan menggunakan kekuatan semua orang dikatakan telah membantu membangun semangat Gambari (ibid., p. 143). Disamping itu, menurut Miyazaki (1969, pp. 269-272), perbedaan iklim dan geografis Jepang sebagai penyebab karakteristik ketekunan orang Jepang: Iklim Jepang mempunyai suhu dan kelembaban yang tinggi. Disamping itu, kondisi geografis sangat sulit, sebagai contoh ada banyak bencana seperti banjir, angin taifu, dan gempa bumi. Gunung curam melingkupi sebagian wilayah dari pulau utamanya yang sempit. Kedua sisi pulau terdapat laut Jepang dan samudra pasifik, dan di tepi pantainya banyak lereng bukit curam dan beberapa daratan. Karena itu banyak sungai mengalir dengan cepat dan sering meluap disebabkan air hujan yang sangat deras. Dengan tantangan geografis seperti inilah yang tidak pernah memberikan orang Jepang rasa aman dan senggang; sebaliknya itu membuat mereka gelisah dan tekun.
Terakhir adanya peluang yang sama untuk naik ke status sosial yang lebih tinggi tersedia bagi orang Jepang dengan Gambaru sebagai dorongannya. Setelah restorasi Meiji, banyak perbaikan dalam kelas strukur dan sistem pendidikan mengambil alih. Kelas sistem pada Zaman Edo yang dikenal sebagai Shi-no-ko-sho (Samurai, petani, tukang, pedagang) telah dihapuskan pada Zaman Meiji dan dengan proklamasi mahasiswa (dorongan untuk pendidikan) yang disebarluaskan pada 1872, sekitar 80% anak-anak mempunyai kesempatan untuk sekolah. Selain itu pada 1947 dikeluarkan dekret wajib pendidikan dan nyaris semua anak menerima pendidikan, memberi semua orang kesempatan untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi untuk pendidikan dan mencapai posisi yang lebih baik dalam masyarakat. Amanuma (1987, hal 154) menegaskan bahwa rantai yang mengikat pembaruan ini memungkinkan semua individual di Jepang untuk mencapai posisi dalam masyarakat melalui usaha mereka sendiri; yaitu melalui Gambari.
Banyak orang Jepang meraih pencapaian hebat dari kalangan rakyat biasa, bahkan dari keluarga miskin. Perdana menteri seperti Hirofumi Ito dan pemimpin dari Honda dan Mistubishi datang dari masyarakat kelas bawah. Jadi, banyak siswa yang belajar pada Zaman Meiji diikat oleh rasa Gambaru, memimpikan menjadi Perdana Menteri atau meraih gelar doktor di masa depannya. (Kato, 1978 hal 183-188).
Bahkan sampai sekarang anak sekolah belajar sangat keras supaya lulus ujian masuk Universitas yang bagus karena begitu masuk ke sekolah seperti itu mereka akan dihormati dan tentu mendapatkan pekerjaan di perusahaan yang bagus. Pencapaian sosial dan persamaan peluang yang disediakan sistem pendidikan membuat dunia yang kompetitif dan diperkuat oleh semangat orang Jepang yaitu Gambari.
MASALAH-MASALAH PADA GAMBARI
Untuk orang Jepang, melakukan yang terbaik dan bertahan dengan sabar dalam keadaan yang sulit untuk mencapai suatu tujuan yaitu Gambaru bertujuan untuk meraih kebajikan tertinggi. Tapi, kadang hasil dari Gambaru menyebabkan hasil-hasil yang negatif. Contoh pada umumnya adalah Karoshi, kematian yang disebabkan kerja yang berlebihan meningkat angkanya dari tahun ke tahun. Para pengusaha sering memaksa bekerja hingga larut malam tanpa istirahat atau hiburan, dan akibatnya sebagian dari mereka meninggal karena serangan jantung atau stroke. Angka klaim yang ditulis oleh para keluarga untuk kompensasi dari kematian karena kerja berlebihan rata-rata per tahun di Jepang adalah 500, tetapi pada kenyataannya bisa mencapai 1000, karena perusahaan sering berupaya menutupi untuk menghindari pertanggung jawaban (Kawato, 1991, hal 80.) Menurut Kawato(ibid., hal. 10)
Alasan untuk kerja berlebihan adalah hasil dari pemikiran untuk menjadi karakter pekerja yang rajin dan sifat alami pengusaha. Pertama, nilai dari para pekerja yaitu –gambari- tidak memberikan mereka waktu untuk istirahat. Kedua, atmosfir dalam perusahaan yang mengharuskan para pekerja melakukan gambaru. Pekerja yang beristirahat dan tidak mengambil lembur akan diasumsikan bukan karyawan yang baik. Pemikiran seperti ini akan menjauhkan pekerja tersebut dari promosi, selain itu beberapa pekerja yang ,menolak lembur akan dipecat.
Kefanatikan orang Jepang juga bisa dilihat dalam gambari. Menurut Miyazaki (1969, hal 274), orang di Jepang gampang dipengaruhi oleh yang lain-lain dikarenakan kepentingan kelompok, membuat orang-orang seperti ini menjadi fanatik dan kehilangan kendali dalam situasi tertentu. Kefanatikan ini direflesikan dalam gambari, yang sering ditunjukan secara buta dan serta merta, seperti yang sering dipamerkan selama perang dunia ke II:
Selama perang, otoritas militer mengambil keuntungan dari karakteristik orang Jepang ini. Orang Jepang dihadapkan pada gambaru dan banyak pergi perang dengan kesetian buta. Sebagian, walaupun menentang kebijakan ini, mereka disingkirkan. Kesetiaan buta dan kefanatikan membuat perang menjadi mengerikan. (Amanuma, 1987 hal 67-68)
PERUBAHAN SIKAP TERHADAP GAMBARI
Konsep dari gambari sekarang telah berubah, dan ungkapannya mengilangkan kekuatan tradisional terutama di kalangan anak-anak muda. Menurut banyak kritik, anak-anak Jepang saat ini kurang kesabaran karena mereka sering dimanja dan diberikan apa saja yang mereka inginkan oleh orang tua dan kakek-nenek mereka. Menurut harian Asashi, masalah yang terjadi baru-baru ini dari gakkyu hokai (ruang kelas yang gagal) adalah menjadi semakin serius.
Para guru tidak bisa mengontrol murid-murid lagi. Anak-anak, khususnya di sekolah dasar sering tidak mematuhi perintah, menggunakan bahasa kasar pada guru mereka, mengobrol dengan suara keras, dan berjalan-jalan selagi kelas berlangsung. Dengan situasi demikian, kelas yang layak tidak dapat dilaksanakan. Di beberapa kota di tokyo, dua pertiga sd dikatakan menderita masalah ini (“Collapse of the classroom” 1998 p. 17).
Yang membuat masalah semakin buruk ketidaksabaran di antara anak-anak menyebabkan masalah lain, yaitu ketidakhadiran terus-menerus (tõkõ kyohi). Menurut survei yang dilakukan oleh kementerian pendidikan, jumlah tõkõ kyohi permanen di jepang sd dan smp mencapai 150.000 anak saat ini dan akan terus meningkat pertahunnya. Beberapa orang berkata bahwa siswa tersebut tidak punya kemampuan untuk gambaru, dan jika orang-orang di sekitar mereka mendorong mereka dengan mengatakan 'gambare' mereka cenderung akan menarik diri. Namun, Velisarios berpendapat bahwa mengubah kondisi sosial lebih relevan untuk memahami fenomena ini.
Di ruang kelas di jepang, masa depan adalah sesuatu yang lebih suka anak-anak abaikan. Berkat sistem ketat yang berdasarkan tes, sekitar 80 persen dari semua siswa di Jepang menjadi pecundang pada usia 15 tahun. Mereka adalah orang-orang yang tidak lulus ujian untuk masuk sekolah menengah terbaik. Sebagai tambahan, hal ini membuat mereka membunuh mimpinya untuk masuk universitas terbaik. Dulu, anak-anak dari golongan menengah mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Saat ini, dengan perekonomian Jepang yang menyusut dan pengangguran di antara usia aktif mendekati 10 persen, banyak rata-rata siswa melihat sedikitnya kepentingan untuk tetap berada dikelas. (Valesarious, 1998, p.16)
Di Jepang sekarang ini, orang-orang mulai berpikir bahwa penting untuk memiliki lebih banyak waktu luang. Baru-baru ini, ketetapan kerja 5 hari dalam seminggu sudah menjadi umum, dan standar sekolah 5 hari dalam seminggu juga akan dimulai dari tahun 2002, kementrian pendidikan memutuskan untuk mengurangi hari belajar di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. (“Education in relaxation” 1998, p.1)
Dengan demikian, orang-orang terus bekerja keras, tetapi mereka juga berpikir bahwa ada baiknya untuk memiliki waktu luang, hal inilah mengakibatkan perubahan besar yang terjadi di jepang. Perubahan sikap terhadap gambari.