BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jepang
merupakan negara yang memiliki keindahan alam yang menarik. Orang Jepang
merealisasikan keindahan alamnya ke dalam arsiterktur, salah satunya pada arsitektur taman. Keinginan
untuk selalu dekat dengan alam, menggiring masyarakat Jepang untuk senantiasa
memindahkan alam ke dalam kehidupan mereka sehari-hari. Taman-taman tersebut
bukan semata-mata merupakan tiruan wujud alam yang sesungguhnya, melainkan
wujud taman yang ditampilkan melalui simbol-simbol yang mewakili gambaran alam
semesta yang ingin ditampilkan.
Seni
yang ditunjukkan dalam setiap penataan taman selalu menarik perhatian bagi yang
melihat. Referensi awal tentang taman Jepang berasal dari abad ketiga belas dan
ini dapat diasumsikan, karena pengaruh sejarah China pada Jepang, bahwa banyak
elemen desain taman Jepang berasal dari taman-taman di Cina. Setelah abad
keempat belas, Jepang berkembang pesat sebagai budaya di bawah kondisi dan
pengaruh yang berbeda, yang dimana hal ini menyebabkan perkembangan dari tiga
jenis taman yang berbeda di Jepang. Dalam buku yang berjudul The Art of The
Japanese Garden, David dan Michiko Young mengatakan :
“Secara tradisional, taman Jepang
telah disusun dalam tiga jenis: pemandangan alam (shizen fuukeishiki)
kebun yang mewakili alam dengan kolam buatan dan bukit-bukit, batu dan
tumbuhan; lanskap kering (Karesansui) kebun yang menyarankan pemandangan
alam dengan batu, kerikil, dan pasir; dan kebun upacara minum teh (chaniwa)
yang terdiri jalur taman (roji) yang mengarah ke rumah minum”.
Chaniwa berasal
dari huruf kanji cha (茶,teh) dan niwa (庭,kebun). Taman ini dibuat pertama kali pada abad ke empat belas
bersamaan dengan pengenalan chanoyu atau chadou (茶道, jalan teh). Chaniwa adalah taman kecil yang dilengkapi
jalan-jalan setapak yang dibangun di sekeliling rumah teh (chasitsu).
Taman teh yang secara bahasa diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang
menjadi chaniwa memiliki istilah tersendiri yakni roji, yang
berarti jalan embun atau daratan embun. Suasana damai dan tenang dalam roji dapat
menimbulkan atmosfir pada suasana hati tiap peserta chanoyu yang
melewati roji tersebut. Roji memiliki pemandangan berupa pepohonan
dengan semak belukar dan tanaman hijau serta pakis dan tanah yang tertutup oleh
lumut. Ornamen berupa tanaman yang ada di roji adalah jenis tanaman
hijau seperti jenis pakis dan lumut. Saat berada di taman ini, para tamu
menggunakan bakiak kayu, melangkah di tobi-ishi (batu pijakan) dan nobedan
(jalan setapak).
Tergantung dari luas lahan yang akan dibangun menjadi taman teh, roji
pada umumnya terdiri dari satu atau dua bagian. Roji yang memiliki dua bagian, soto-roji dan uchi-roji,
tiap bagiannya dipisahkan oleh gerbang kecil yang disebut dengan chumon.
Taman bagian luar (soto-roji) adalah ruang tunggu para tamu sebelum
memasuki rumah teh, dan taman bagian dalam (uchi-roji) adalah area rumah
teh. Berikut adalah contoh denah roji.
(gambar dari Jyutaku no
Naniwa)
Kebun
teh, chaniwa, merupakan lorong peristiwa, ruang di mana pengunjung harus
melanjutkan secara fisik, secara estetis mengalami pelepasan bertahap terhadap
kekhawatiran dunia, sementara mereka berjalan menuju rumah teh. Hal tersebut
dikaitkan sebagai salah satu aliran dari ajaran Buddhisme Zen. Lalu dari awal
inilah bahwa dalam hubungannya dengan pengaruh Buddhisme Zen, taman jenis ini
dikembangkan.
Zen
sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat di Jepang, seperti
dalam seni lukis, keramik, puisi serta upacara-upacara dan festival. Selain itu
Zen juga mempengaruhi arsitektur taman Jepang. Konsep Zen dalam taman
bergantung dari taman yang dibuat, taman karesansui memiliki makna dan
konsep Zen yang berbeda dengan konsep Zen dalam roji. Melalui tulisan
ini, Penulis akan menganalisis konsep Zen dalam roji. Konsep yang
digunakan adalah wabi-sabi.
Pengertian
wabi-sabi sangatlah luas karena dapat diartikan dalam berbagai bidang
ataupun seni, mulai dari arsitektur, makanan, lukisan, keramik hingga cara
hidup samurai. Menurut Davies dan Ikeno,wabi-sabi adalah suatu ungkapan
yang terdiri dari dua kata yaitu wabi dan sabi , meskipun
demikian unsur-unsurnya saling memiliki hubungan terkait. Wabi adalah
suatu keindahan dan prinsip moral yang menekankan pada kesederhanaan,
kecantikan dan suatu keadaan yang tenang. Sedangkan Sabi berasal dari
kata sifat sabishii yaitu ketenangan, kelengangan dan kecantikan.
Contoh
dalam taman adalah pada roji, menurut Engel (1959 : 21) sabi yang
berarti kesunyian dan bisa juga berarti tua (sesuatu yang berumur), ditunjukkan
dengan adanya lumut di tanah, tobi-ishi (batu pijakan), tsukubai
(wadah air) ataupun pada ishi-doro (lentera).
B.
Permasalahan
Penelitian
Berdasarkan
latar belakang di atas, permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah
bagaimana pengaplikasian nilai wabi-sabi dalam penataan taman chaniwa?
C.
Ruang
Lingkup Penelitian
Pengaplikasian
nilai wabi-sabi terdapat pada hampir
semua jenis taman Jepang. Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis hanya
memfokuskan nilai wabi-sabi pada
taman jenis chaniwa.
D.
Tujuan
Penelitian
Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaplikasian nilai wabi-sabi dalam
penataan taman chaniwa di Jepang.
E.
Hipotesa
Pengaplikasian
nilai wabi-sabi dalam penataan taman chaniwa di Jepang dapat
dilihat pada unsur-unsur taman chaniwa, seperti pada adanya lumut di
tanah, tobi-ishi (batu pijakan), tsukubai (wadah air) ataupun
pada ishi-doro (lentera).
F.
Daftar
Pustaka
Jurnal: Konsep Zen
dalam Chaniwa, Universitas Binus, 2007
Davies & Ikeno. 2002. The
Japanese Mind. U.S.A : Tuttle Publishing
Engel, David. 1959. Japanese
Gardens for Today: A Practical Handbook.
Young,
David dan Michiko. 2005. The Art of
Japanese Garden. Singapore: Tuttle Publishing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar