Ada sesuatu mengambang di dalam toples. Sesuatu
yang aneh. Sesuatu berwarna abu-abu seperti sepotong daging. Sesuatu yang bau.
Sesuatu yang tidak hidup tapi tidak juga mati. Aku sampai bergidik melihatnya.
Aku berharap bisa menahan diri untuk tidak melihatnya. Tapi aku tidak bisa.
Anak-anak yang lain pun melihatnya. Semua mata memandang ke arah toples di atas
meja.
“Baiklah,” kata guru baru.
“Sekarang kalian tulis
cerita tentang benda ini”
Terdengar suara mengeluh. Benda di dalam toples
itu cuma cara lain agar kami menulis sementara pak guru menghapus papan tulis.
Pak guru mungkin membuat benda itu dari kulit binatang atau mungkin sejenisnya.
“Aduh, aku nggak bisa mikir nih” kata Mary Jo
“Aku juga,” kata Helen Chung
Pak guru baru tersenyum. “Baiklah,” katanya.
“Saya
yang pertama membuat ceritanya. Kalau itu bisa memberi kalian ide untuk
menulis. Nah, setelah itu baru kalian yang menulis.”
Ya, kedengarannya sih lebih baik.
Kami bersiap mendengar cerita pak guru. Alih-alih
memerhatikan pak guru, kami menatap pada benda di dalam toples. Benda itu
mengambang, diam, dan tidak bersuara.
Guru baru pun memulai ceritanya.
***
Trevor tahu kalau laki-laki yang memakai jas putih
itu akan mengirisnya dengan pisau. Sebuah pisau bedah. Laki-laki itu akan
membedah perutnya dan mengeluarkan usus buntunya.
“Apa yang akan dokter lakukan pada …?” tanya
Trevor yang sedang berbaring di meja operasi
“Pada apa?” tanya dokter
“Usus buntuku dan amandelku dan yang lainnya
setelah dokter mengeluarkannya.”
“Saya akan membakarnya,” kata si dokter. “Di dalam
ruang bakar”
“Aku ingin menyimpannya,” kata Trevor. “Aku tidak
ingin dokter membakarnya”
Dokter melihat perawat dari balik maskernya dan
berkata sesuatu. Si perawat mengangguk.
“Baiklah kalau begitu,” kata si dokter, kemudian
menyuntik lengan trevor. Ruangan pun mulai berputar.
“Bagus,” gumam Trevor, sebelum pandangannya
menjadi gelap. “Karena kami harus selalu bersama – aku dan usus buntuku.”
Ketika terbangun dia melihat jahitan di perutnya,
dan sebuah toples di samping tempat tidurnya dengan sesuatu mengambang di
dalamnya. Meski perutnya terasa sakit namun dia tersenyum. Usus buntunya pasti
sudah dikeluarkan. Tapi tidak dibuang.
Dia mengambil toples itu dan memandangnya. “Kamu
tidak akan pernah meninggalkanku” dia berkata. “Tidak akan pernah. Kita harus
selalu bersama”
Ketika sampai di rumah, Trevor menaruh toples
tersebut di dalam sebuah tempat yang menurutnya aman, kemudian pergi ke
kamarnya. Dia melepas pakaiannya dan naik ke tempat tidur. Tidak berapa lama
dia mulai menutup matanya. Dia mulai terbawa mimpi ketika mendengar teriakan
keras yang berasal dari dapur.
Dia berjalan limbung menuruni tangga secepatnya
dan menemukan ibunya sedang menatap ke dalam kulkas.
“Ada apa sih?” katanya
“Ibu tidak merasa menaruh usus buntu di dalam
situ,” ibunya berkata. “Itu menjijikkan”
“Itu tidak menjijikkan. Itu milikku, bagian dari
diriku. Seperti mata dan otakku. Kalau ibu tidak suka usus buntuku itu sama
artinya ibu tidak sayang padaku.”
“Tapi kenapa kamu menaruhnya di dalam kulkas” ibu
berkata
“Sepertinya tidak berbahaya,” kata Trevor
“Tidak akan berbahaya karena usus buntumu direndam
dalam formalin. Cairan itu yang mengawetkannya.”
Trevor melihat usus buntunya di dalam toples. “Mungkin
kulkas tempat yang paling baik,” dia berkata. “Benda itu masih bagian dari
diriku. Aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya.”
“Tapi tidak di dalam kulkas,” ibunya berkata.
“Seseorang mungkin mengira itu manisan dan boleh jadi nanti dimakannya.”
Trevor mengangguk. “Ya, ibu benar,” dia berkata.
“Kita tidak bisa menyimpannya dalam kulkas. Tapi ibu yakin itu tidak berbahaya,
kan?”
“Ibu yakin,” kata ibunya
“Baguslah,” kata Trevor. “Aku akan membawanya ke
sekolah. Aku dan usus buntuku. Kami akan selalu bersama.”
Ibunya hanya menarik nafas panjang dan
menganggukkan kepalanya. “Dasar anak-anak,” dia berkata dalam hati.
Kemudian, usus buntunya dibawa ke sekolah. Trevor
menaruh toples itu di atas mejanya. Teman-temannya berhenti mengobrol. Tiap
mata melihat ke arah toples itu. Beberapa anak menahan nafas. Tapi sebagian
besar menatapnya. Mereka terus menatap, menatap dan menatap. Mereka tidak bisa
mengalihkan padangan mereka.
Di dalam toples ada sesuatu yang mengambang.
Sesuatu yang aneh. Sesuatu berwarna abu-abu seperti sepotong daging. Sesuatu
yang tidak hidup tapi tidak juga mati.
Tiap orang begidik, kecuali Trevor.
“Ini usus buntuku,” kata Trevor. “Kemanapun aku
pergi, dia bersamaku.”
Anak-anak terkagum. Tidak ada yang pernah melihat
usus buntu sebelumnya.
“Kamu sebaiknya menaruhnya di mejaku,” kata pak
Birtle. “Tidak ada yang bisa berhenti melihatnya. Dan kita tidak akan bisa
belajar kalau caranya demikian.”
Sebenarnya pak Britle-lah yang tidak bisa berhenti
melihat isi toples. Dia seperti terhipnotis. “Kamu yakin ini benar-benar usus
buntu?” kata pak Britle pada Trevor. “Saya berani sumpah kalau benda itu hidup.
Saya pikir saya melihatnya bergerak.”
Semua mata melihat usus buntu itu … benda itu
bergerak berputar di dalam cairan kuning.
Pak Birtle berkata pada Trevor. “Coba kamu pergi
ke perpustakaan dan ambil buku anatomi,” katanya. “Saya mau melihat seperti apa
bentuk usus buntu itu.”
Trevor sebenarnya tidak ingin pergi. Dia tidak
ingin meninggalkan usus buntunya. Namun ia pun pergi juga. Dan ketika dia
melangkah perlahan menuruni tangga, tangannya mulai terasa berkeringat.
Jantungnya berdegup kencang. Kepalanya sakit. Dia ingin balik ke kelas,
mengambil toplesnya dan mendekatkan ke wajahnya.
“Kita harus selalu bersama,” dia berkata.
Dia berjalan cepat ke perpustakaan dan mulai
mencari buku anatomi.
Di dalam kelas, pak Birtle menarik nafas panjang.
Usus buntu itu benar-benar bergerak. Seperti ikan emas yang sedang marah,
berputar di dalam toples.
Di perpustakaan, Trevor juga berputar-putar
mengelilingi lemari seperti ikan emas yang sedang marah. Akhirnya dia menemukan
apa yang dia cari. Dia mengambil buku anatomi dan bergegas kembali ke kelas.
Pak Birtle melihatnya ketika Trevor masuk kelas.
“Dia marah,” kata pak Birtle. “Usus buntu itu berenang berputar-putar.”
Trevor buru-buru mendekat ke toples dan melihat
kedalamnya. Usus buntu itu hanya mengambang. Tidak bergerak. Wajah pak Britle
berubah keheranan. “Tadi begerak,” katanya. “Benda itu berhenti waktu kamu
kembali. Coba kamu keluar kelas dan berdiri di sana, Trevor.”
“Aku tidak mau,” kata Trevor. “Aku tidak mau
meninggalkannya. Kami harus selalu bersama.”
Pak Birtle mengencangkan bibirnya. “Benda itu juga
tidak mau kau meninggalkannya,” katanya. “Pergi dan berdiri di luar pintu –
hanya sebentar.”
Trevor melakukannya. Dia meninggalkan kelas dan
melihat ke dalam kelas melalui jendela. Tangannya berkeringat. Kepalanya sakit.
Jantungnya terasa berat memompa. Dia menatap ke dalam kelas dan menarik nafas
panjang. Usus buntunya bergerak berputar di dalam toples. Benda itu
melompat-lompat seperti seekor ikan trout di jaring nelayan.
Murid-murid melangkah mundur. Mereka ketakutan.
Sesuatu yang aneh terjadi.
Trevor bergegas masuk dan mengambil toplesnya.
Usus buntunya menjadi lebih tenang dan mengambang di dalam formalin.
“Kita coba lagi,” kata pak Birtle. “Trevor, saya
ingin kamu pergi keluar, ke seberang jalan dan pergi ke toko. Hitung sampai dua
puluh dan balik lagi.”
Trevor manaruh toplesnya dan berjalan perlahan
keluar pintu. Dia gemetaran ketika berjalan menyeberang jalan. Semakin jauh dia
berjalan semakin sakit kepalanya. Dia meremas jari tangannya. Lalu menaruh
tangannya di atas dadanya. Dengan langkah gemetar dia berjalan ke toko dan
menutup pintu di belakangnya.
Suara gemuruh datang dari dalam sekolah. Tiga
puluh orang teriak bersamaan.
Trevor berlari balik secepat kilat, bahkan dia
tidak merasa kakinya menyentuh tanah. Dia seperti sedang terbang saat kembali
ke sekolah. “Kita harus selalu bersama,” teriaknya
Dia turun di dalam kelas yang sepi. Tapi kelas itu
tidak kosong. Semuanya berdiri menghadap ke dinding. Mereka melihat toples
tersebut dengan pandangan ketakutan. Bahkan pak Birtle.
Usus buntu itu melompat-lompat di dalam toples,
menggedor-gedor tutupnya. Suaranya seperti peluru yang keluar dari senapan
mesin. Tutup toples bergetar hebat.
Trevor bergegas mengambil toplesnya. Usus buntunya
pun berubah tenang. Benda itu bergerak berputar dalam toples. Trevor tersenyum.
Senang.
Pak Birtle melangkah ke depan kelas.
“Aku harus
menyita benda itu, Trevor,” katanya, mengambil toples itu dari tangannya.
“Sesuatu yang aneh terjadi. Ini bisa berbahaya.”
“Baiklah,” kata Trevor “jika itu yang bapak mau”
dia berbalik dan berjalan menuju pintu.
Kelas pun mulai berteriak panik ketika
sekali lagi si usus buntu menggedor-gedor tutup toples.
“Kembali,” teriak pak Birtle. Dia mengembalikan
toplesnya pada Trevor
“Terima kasih,” kata Trevor. Si usus buntu
bergerak senang. “Kita harus selalu bersama,” kata Trevor.
Sesaat kemudian bel berbunyi dan kelas pun bubar
untuk makan siang.
“Kamu tunggulah di sini, Trevor,” kata pak Birtle.
“Aku akan
memanggil kepala sekolah.”
Trevor melihat usus buntunya. “Mereka akan
mengambilmu,” dia berkata. “Mereka tidak ingin kita bersama.”
Si usus buntu bergerak naik turun. Sepertinya
setuju dengan ucapan Trevor.
Kita harus keluar dari sini,” kata Trevor. “Kita
harus selalu bersama.”
Dia menggenggam erat toplesnya dan menyelinap turun
tangga. Dia berjingkak sepanjang koridor dan pergi keluar. Dia bebas.
Tiba-tiba sebuah tangan menahan pundaknya. Itu
adalah pak Birtle dan kepala sekolah.
“Aku akan mengambil benda itu,” kata kepala
sekolah, merebut toples itu dari tangan Trevor. Si usus buntu mulai
menggedor-gedor tutup toples. Dia bergerak cepat membuat isi toples menjadi
keruh.
“Buang benda itu dari sini,” kata pak Birtle.
“Benda itu bisa menyerang anak-anak”
“Tidak,” teriak Trevor. “Kembalikan padaku.
Kembalikan”
Pak Birtle menahan tangan Trevor sekuatnya. Kepala
sekolah berlari membawa toples yang bergetar hebat. Dia melempar toples itu ke
kursi belakang mobilnya dan ngebut meninggalkan gerbang sekolah.
“Kembali, kembali,” teriak Trevor. Tapi sia-sia.
Usus buntunya sudah menghilang.
Tangan kepala sekolah gemetaran di atas kemudi.
Dia melihat ke belakang dan mencoba membuka paksa tutup toples. Tidak lama lagi
tutup itu akan terbuka. Lalu apa yang terjadi kemudian? Seluruhnya akan meledak
seperti sebuah bom. Dia menginjak pedal rem, lalu mengambil toples itu dan
menaruhnya ke trotoar.
Pak kepala sekolah melompat dari mobilnya dan
turun ke jalan. Dia berhanti dan melihat ke belakang. Toples itu meledak. Usus
buntu itu melompat ke udara, berputar-putar seperti burung mabuk. Kemudian
jatuh dan mendarat ke dalam selokan.
Usus buntu itu pun terbebas.
Kembali ke sekolah, Trevor mencoba melepaskan diri
dari pak Birtle. Tapi dia terlalu kuat. Meski Trevor meronta seperti hewan liar
tapi sia-sia. Dia tidak bisa lepas dari cengkraman pak Birtle.
Tiba-tiba tubuhnya ambruk. Seperti orang mati. Dia
jatuh seperti boneka di tangan pak Birtle. Pak Birtle menaruh tubuhnya di
lantai, menempelkan telinganya ke dada Trevor, lalu bergegas menuju lemari
mengambil handuk.
Trevor melompat dan berlari keluar sekolah.
Tipuannya berhasil. Dia bebas mencari usus buntunya.
Dan usus buntunya pun bebas mencarinya. Benda itu
menggeliat di sepanjang trotoar seperti seekor tikus basah dan bau.
Tidak ada satu pun orang yang terlihat di jalanan.
Hanya seekor kucing. Kucing berwarna oranye yang besar. Kucing itu melihat usus
buntu itu. Dengan cepat kucing itu melompat dan mendarat tepat di depan usus
buntu. Si usus buntu berhenti. Si kucing membungkuk. Si usus buntu
bergerak-gerak. Si kucing medekatinya dan menyentuhnya. Sepertinya cakar si
kucing mengenai si usus buntu.
Si kucing mengeluarkan suara mengerang tiga
kali, “Meong, meong, meong.” Lalu menghilang ke dalam usus buntu, tersedot
seperti kain lap ke dalam vacum cleaner dan menghilang begitu saja seperti
agar-agar ke dalam sedotan. Si usus buntu berputar-putar sebentar dan kemudian
melanjutkan perjalanannya. Ukurannya tidak bertambah besar. Tidak juga menjadi
lebih kecil. Tapi dia sudah makan seekor kucing. “Meong, meong, meong.” Si usus
buntu meniru suara si kucing. “Meong, meong, meong.”
Si usus buntu berputar di pojok jalan dan berhenti
lagi. Seekor anjing menggonggong dan bergerak memutari benda abu-abu itu yang
terlihat gemetaran. Tiba-tiba si usus buntu bergerak dan melompat secepat kilat
masuk ke telinga si anjing. Si anjing menggonggong kesakitan. Dia
mengoyang-goyang telinganya mencoba mengeluarkan si usus buntu. Tapi terlambat.
“Guk, guk, guk,” si usus buntu menghisapnya. Anjing itu hilang. Dan si usus
buntu masih terlihat kecil, abu-abu dan bau, menggeliat di jalan. “Guk, guk,
guk,” bunyi si usus buntu, meniru mangsanya berulang-ulang. “Guk, guk, guk.”
Dia sepertinya senang dengan suara anjing itu.
Di seberang jalan si benda abu-abu berlendir
bergerak di bawah sebuah mobil dan menuruni saluran pembuangan. Sepertinya dia
tahu kemana arahnya. Dia tahu kemana dia pergi. Dia sedang mengarah kepada
Trevor.
Sementara itu Trevor terengah-engah, melihat ke
belakangnya. Tidak ada yang mengikutinya. Dia sudah melarikan diri. Tapi dia
kehabisan nafas. Kepalanya sakit. Tangannya penuh keringat. Tapi dia merasa
sedikit lebih baik. Bagaimanapun juga dia tahu usus buntunya sedang bergerak ke
arahnya. Dia duduk di pinggir selokan dan menunggu di sebelah saluran
pembuangan.
“Skuik, skuik, skuik” Suara kecil. Usus buntu
keluar dari saluran pembuangan, masih meniru suara santapannya. Santapan yang
didapt di dalam saluran. Seekor tikus besar yang penasaran.
Trevor tersenyum saat melihat usus buntunya. “Kita
harus bersama,” dia berkata. Usus buntu itu kelihatan setuju padanya. Dia
menggeliat di kaki Trevor, melompat-lompat sampai ke lehernya dan terus naik ke
dagunya. Trevor membuka mulutnya lebar-lebar. Dan usus buntunya merayap masuk.
Trevor menelannya. “Kita harus selalu bersama,”
dia berkata. Dan mereka pun bersatu kembali.
***
“Dan itulah akhir ceritanya,” kata guru baru.
Semua anak-anak di dalam kelas menatap toples di
atas meja. Benda abu-abu itu begerak perlahan di dalam air berwarna kuning.
“Apa yang kalian pikirkan?” tanya guru baru.
Anak-anak merasa mual. Ceritanya sih bagus tapi
tidak menyenangkan. Semuanya bertepuk tangan perlahan bersamaan dengan bunyi
bel. Kemudian, semuanya pergi keluar untuk makan siang tapi tidak ada yang
berani mendekat pada benda abu-abu mengerikan di dalam toples.
Aku menunggu sampai mereka keluar semuanya. Aku
ingin bicara pada guru baru mengenai ceritanya.
“Ada satu yang salah dalam cerita itu,” kataku
“Ya?” kata guru baru
“Kalau usus buntu itu ditelan Trevor,” kataku,
“bagaimana benda itu bisa berada di dalam toles di meja bapak?”
Guru baru menggaruk dagunya. “Kamu mungkin benar,
“dia berkata. “Ini sedikit kelemahan dari cerita itu. Tapi aku tidak akan
mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.”
“Kenapa tidak?” tanyaku
“Terlalu mengerikan,” katanya
“Bapak bisa ceritakan padaku,” kataku
“Ma’af,” katanya. “Tapi bagaimanapun juga kamu
tidak akan percaya padaku.”
“Ini-kan cuma cerita,” kataku. “Iya, kan?”
“Iya, kan?” kata pak Birtle.
Dia tersenyum padaku
dan pergi makan siang.
Aku melihat benda di dalam botol. Benda itu memang
aneh. Aku berpikir benda apa itu. Aku mengambil toplesnya. Benda di dalamnya
perlahan bergerak. Benda itu seperti sepotong kulit yang sudah membusuk.
Aku memutuskan membuka tutupnya dan berharap
keberuntungan. Tutupnya rapat. Aku tidak bisa memutarnya. Aku membuka laci meja
pak Birtle dan menemukan kain lap. Aku putar tutup toples itu dengan kain lap
dan tutupnya mulai bergerak. Aku memutarnya sampai terbuka.
Aku melihat ke dalam toples. Sepotong daging
berlendir yang terdiam.
Tidak pada awalnya.
Lalu, dengan perlahan dan mengerikan, benda itu
keluar dari toples. Benda itu mengeluarkan suara sama seperti santapan
teakhirnya.
“Kita harus selalu bersama,” benda itu berkata.
“Kita harus selalu bersama”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar