Juni 13, 2015

A Story to Scare My Son



sumber: facebook Creepypasta Indonesia

“Nak, kita harus bicara mengenai keamanan dalam berinternet.”

Perlahan, aku beringsut turun ke lantai menuju sebelahnya. Laptopnya terbuka dan dia sedang bermain Minecraft di sebuah server publik. Matanya terpaku pada aksi di layar. Komen-komen terus bergerak pada bagian pinggir layar di kotak obrolan.

“Nak, bisa berhenti sebentaaar saja?”

Dia keluar dari dunia permainan, menutup laptop, dan menatapku.

“Apakah ini akan jadi cerita seram payah yang lainnya, Ayah?”

“Apaaa?”

Aku berlagak tersinggung selama beberapa detik, dan kemudian meringis ke arahnya,

“Ayah pikir, kau suka cerita yang mengingatkan agar selalu waspada?”

Dia tumbuh dengan mendengarkan cerita-cerita tentang anak-anak yang berjumpa dengan penyihir, hantu, manusia serigala, atau troll. Seperti banyak orangtua lain, aku menggunakan cerita seram untuk menyisipkan moral dan mengajarkan betapa pentingnya untuk selalu waspada. Orangtua tunggal sepertiku, harus menggunakan segala macam cara demi kepentingan anaknya. Dia cemberut sedikit,

“cerita-cerita itu asyik saat umurku enam tahun. Tapi aku sekarang sudah besar, semua itu sudah
tak bikin aku takut lagi. Malah kedengaran konyol. Jika Ayah mau bercerita tentang internet, bisakah Ayah
membuatnya menjadi benar-benar menyeramkan?!”

Aku mengangkat sebelah alisku dan memasang mimik wajah ragu. Dia melipat tangannya,

“Ayah, aku sudah sepuluh tahun. Aku pasti bisa tahan!”

"Hmm … baiklah ... Ayah akan coba."

Aku kemudian memulainya,
“Pada suatu masa, hiduplah bocah bernama Colby ….”

Ekspresi anakku menandakan dia tak terkesan atas pembuka cerita. Dia mendesah panjang dan menyiapkan diri untuk mendengar satu lagi cerita payah dariku. Kulanjutkan kemudian …

“Colby suka online dan kerap mengunjungi beberapa website untuk anak-anak. Tidak lama kemudian, dia mulai berbincang dengan anak-anak lain di game online serta di kolom pesan dan obrolan. Dia berteman dengan anak berumur sepuluh tahun lainnya bernama Helper23. Nampaknya mereka punya kesamaan
untuk menyukai game dan hal-hal lainnya. Mereka tertawa atas banyolan yang saling mereka lontarkan. Kemudian, mereka menjajal game baru bersama- sama.

“Setelah berteman selama beberapa bulan, Colby memberi Helper23 enam buah berlian di game yang mereka mainkan. Ini merupakan hadiah yang sungguh murah hati. Ulang tahun Colby akan segera
datang, dan sebagai balasannya, Helper23 ingin memberikan hadiah yang keren di kehidupan nyata. Colby berpikir bahwa bukan masalah besar untuk memberikan alamat rumahnya pada Helper23, asalkan Helper23 berjanji tidak memberitahukannya pada orang asing atau orang dewasa. Helper23 berjanji tidak akan mengatakannya pada siapa pun, bahkan kepada orangtuanya sekalipun. Helper23 berkata akan mengirimkan hadiahnya lewat paket.”

Aku berhenti sejenak dan bertanya pada putraku,

“Apa kau pikir hal itu merupakan ide bagus?”

“Tidak!” jawabnya sambil menggelengkan kepala dengan tegas.

Tanpa putraku sadari, nampaknya dia mulai larut dalam cerita. Kulanjutkan lagi ceritaku.

“Nampaknya, Colby juga merasakan hal yang sama. Colby merasa bersalah karena telah memberi tahu alamat rumahnya, dan rasa bersalah itu semakin bertambah seiring bertambahnya waktu. Saat dia mengenakan piyama keesokan malamnya, rasa bersalah dan takut semakin tak tertahankan. Dia memutuskan untuk mengakui perbuatannya pada orangtuanya. Hukumannya pasti akan berat, namun Colby berpikir bahwa dia memang layak menanggungnya. Dia meringkuk di kamar dan menunggu orangtuanya masuk untuk mengucapkan selamat malam.”

Putraku tahu bahwa bagian menyeramkan akan segera datang. Walau sebelumnya dia bersikap sok berani, bahasa tubuhnya mengatakan sebaliknya; dia menyondongkan tubuh ke depan dengan mata membelalak. Kulanjutkan ceritaku dengan suara pelan dan hati-hati.

“Colby mendengar suara-suara ganjil dari dalam rumah. Mesin cuci seperti berdebum dari ruang laundry. Cabang-cabang pohon berderak menggesek dinding rumah. Adiknya yang masih bayi menggumam pelan dari boksnya. Dan ada suara lain yang tidak bisa ia … jelaskan. Akhirnya, Colby mendengar suara langkah kaki ayahnya di lorong. ‘Ayah,’ panggilnya gugup. ‘Ada yang mau kukatakan.’

“Ayahnya melongok lewat pintu kamar dengan posisi ganjil. Dalam kegelapan, bibirnya nampak tidak bergerak sedikit pun dan penampilan matanya jelas menunjukan ada sesuatu yang tidak beres. ‘Ya, Nak.’ Suara yang muncul juga terdengar aneh. ‘Kau tidak apa-apa, Ayah?’ tanya Colby. ‘Uh-uh’ tukas
ayahnya dengan suara yang seperti dibuat-buat. Colby menarik selimutnya, dan kemudian bertanya lagi.

‘Ummm, Ibu ada?’ “’Ibu di sini!’ Kepala ibunya melongok dari balik pintu tepat di bawah ayah. Suaranya terdengar sangat sengau. ‘Apa kau hendak mengatakan pada kami bahwa kau telah memberi alamat rumah kita pada Helper23? Kau seharusnya tidak melakukan hal itu! Kami selalu mengingatkan jangan sampai
menyebarkan informasi pribadi di internet!’

“Ibunya melanjutkan, ‘dia bukan anak- anak! Dia cuma berpura-pura. Apa kau tahu yang telah dilakukannya? Dia datang ke rumah kita, menyelinap masuk, dan membunuh kami berdua! Sehingga dia
bisa meluangkan waktu denganmu setelahnya!’

“Seorang pria gendut dalam balutan jaket basah muncul di depan pintu kamar Colby, di kedua tangannya adalah dua kepala ayah dan ibu Colby. Colby menjerit dan meloncat dari ranjang saat pria itu menjatuhkan kepala-kepala itu. Kemudian, pria itu menghunus pisau dan masuk untuk menyiksa Colby.”

Saat sampai di sini, putraku menjerit juga akhirnya. Dia menekuk tangannya di depan wajah seperti hendak berlindung dari sesuatu. Namun, aku baru saja hendak masuk pada bagian penting dari cerita.

“Beberapa jam berlalu, dan Colby sudah nyaris tewas. Jeritannya berganti dengan ringkikan lemah. Si pembunuh menyadari ada bayi di kamar sebelah, kemudian, dia mengalihkan pisaunya dari Colby. Hal ini merupakan sesuatu yang spesial. Dia tidak pernah membunuh bayi sebelumnya, membayangkan seperti apa sensasinya, tuan pembunuh ini sudah gemetar saking girangnya. Helper23 meninggalkan Colby untuk mati kehabisan darah, dia mengikuti suara tangis yang muncul di rumah yang sekarang sudah seperti rumah jagal.

“Di kamar bayi, dia mendekati keranjang bayi, mengangkat si bayi, dan menggendongnya. Dia berjalan menuju meja ganti agar bisa melihat dengan lebih jelas. Namun saat menggendongnya, tangis bayi itu mereda tiba-tiba saja. Si bayi menatap pria itu dan menyunggingkan senyum. Helper23 tak pernah menggendong bayi sebelumnya, namun dengan lembut, dia mengayun- ayun layaknya seorang ayah tulen. Dia mengelap tangannya yang berdarah pada selimut sehingga bisa membelai pipi montok si bayi. ‘Halo, sobat kecil.’
Suaranya yang sebelumnya penuh amarah dan sadis, kini terdengar lembut dan hangat.

“Dia berjalan keluar dari kamar, membawa bayi itu pulang, menamainya William, dan menganggap serta
menyayanginya layaknya putranya sendiri.”

Setelah selesai bercerita, putraku nampak terguncang dan gemetaran. Di antara nafasnya yang tersengal dan marah, dia bicara tergagap, “t-tapi, A-ayah. Na- namaku William.” Aku mengedipkan sebelah mata padanya
dan mengacak rambutnya.

“Tentu saja, Nak.”

William berlari ke lantai atas menuju kamarnya sambil terisak marah. Namun jauh di lubuk hatinya … kupikir dia suka ceritaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar