Maret 16, 2017

Budaya Populer dan Budaya Massa


Dalam postingan ini saya akan membahas Budaya Populer menurut Raymond Williams dan juga sedikit mengenai Budaya Massa.

Raymond Williams memberikan empat makna untuk Budaya Populer yakni: (1) banyak disukai orang; (2) jenis kerja rendahan; (3) karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang lain;  (4) budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri.

Budaya Populer merupakan satu set artefak yang mudah didapatkan, seperti film, rekaman, pakaian, program TV, mode transportasi, dan lain sebagainya.  Kebudayaan pop dapat ditemukan di masyarakat-masyarakat yang berbeda dalam satu kelompok masyarakat, dan di antara masyarakat dan kelompok pada periode sejarah yang berbeda.

Beberapa orang berpendapat bahwa produk-produk budaya populer Jepang “tidak bermuka” (faceless). Ini karena daya tarik budaya populer Jepang yang bersifat tidak nasional dan karenanya sangat mudah untuk ditransfer keluar Jepang, sehingga budaya tersebut tidak bisa dikenali lagi sebagai budaya orang Jepang. Memang sangatlah sulit untuk melihat ciri khas Jepang pada karakter-karakter animasi yang mendunia seperti Hello Kitty, Doraemon, Pokemon ataupun bagaimana melihat sebuah pesan budaya yang mungkin terbawa oleh produk-produk tersebut yang diterima oleh para konsumen. (http://kyotoreview.org/issue-8-9/budaya-populer-jepang-di-asia-timur-and-tenggara-saatnya-untuk-sebuah-paradigma-regional/)

Selanjutnya, akan dibahas mengenai budaya massa. Secara sederhana budaya massa (mass culture) serupa dengan budaya popular dalam basis penggunaannya. Namun, berbeda dengan budaya popular yang tumbuh dari masyarakat sendiri dan digunakan tanpa niatan profit, budaya massa diproduksi lewat teknik-teknik produksi massal industri. Budaya tersebut dipasarkan kepada massa (konsumen) secara komersial.

Budaya massa kemudian dikenal pula sebagai budaya komersial yang menyingkirkan budaya-budaya lain yang tidak mampu mencetak uang seperti budaya elit (high culture), budaya rakyat (folk culture), dan budaya popular (popular culture) yang dianggap ketinggalan zaman. Jika budaya elit, budaya rakyat, dan budaya popular tidak mampu mencetak uang, untuk apa ia dikembangkan dan dipelihara? Demikian retorika kasar para produsen mass culture.

Teori kebudayaan massa merujuk pada kebudayaan pop yang diproduksi oleh teknik industry dan produksi massal, yang dijual demi keuntungan (laba) pada konsumen umum. Hal ini merupakan kebudayaan komersial yang diproduksi massal untuk pasar yang besar.

Produsen budaya massa melihat para penerima budaya sebagai pasif, lembek, mudah dimanipulasi, mudah dieksploitasi, dan sentimentil. Bertindak selaku agen dari budaya
massa ini media massa. Televisi, radio, majalah, surat kabar, dan internet menempati posisi
penting selaku agen budaya. Sementara produsen dari budaya massa adalah para pemilik pabrik barang (pakaian, kosmetika, kendaraan) dan jasa (konsultan marketing, event organizer, manajer artis).

Partner utama mass culture adalah mass media. Kemampuan mass media menjangkau khalayak (audiens potensial) secara luas, membuat mass culture sangat mudah dipasarkan. Mass media di masa kini enggan menayangkan high culture, folk culture atau popular culture karena dianggap sudah kurang diminati dan memiliki daya jual yang rendah.

Dalam masyarakat massa, individu semakin lama makin sendiri, makin sedikit memiliki komunitas atau institusi tempat mereka mengidentifikasikan diri atau mendapat nilai-nilai kehidupan. Dan, mereka makin lama makin sedikit memiliki cara hidup yang tepat secara moral. Peran budaya massa terlihat sebagai sumber utama moralitas pengganti yang tidak efektif. Tanpa organisasi penengah yang tepat, individu mudah dimanipulasi maupun dieksploitasi oleh institusi seperti media massa dan kebudayaan popular.

Penikmat kebudayaan massa, yakni orang-orang yang mengkonsumsi hasil kebudayaan yang diproduksi massal. Mereka dianggap sebagai sekelompok besar konsumen pasif, yang mudah dibujuk atau dimanipulasi oleh media massa, yang dengan mudah menerima dorongan untuk membeli komoditas yang diproduksi massal seperti kebudayaan massa.

Akhir kata, kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan-penjelasan di atas, yang merupakan contoh dari kebudayaan massa di Jepang di antaranya adalah Karaoke, industri manga, dan love industry. Kata kunci dari budaya massa adalah ‘setiap hari’ dan ‘konsumsi’. Oleh karena itu kita juga dapat mengambil kesimpulan bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat yang bersifat keduniaan karena memiliki banyak budaya massa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar